Dan hari ini pun tiba, dimana si Doi berada di desa antah berantah susah sinyal demi mengejar mimpi dan passion hidupnya. Sementara gue disini, berada di sebuah kota besar yang tidak layak untuk ditinggali, bekerja hanya demi uang dan terpaksa melunturkan idealisme dan passion.
Prolog yang sinis. Tapi ya mungkin kurang lebih itu yang sedang gue rasakan. Ada perasaan campur aduk yang ada dalam diri gue ketika mengantar si Doi pergi ke Jambi; mulai dari bahagia karena Doi bisa mendapatkan pekerjaan impiannya, sedih karena tatap muka dan kontak fisik akan menjadi minimal selama dia pergi, dan iri karena dia akan bisa mencintai pekerjaan impiannya sementara gue sulit. Sebenarnya hal yang terakhir ini yang mau gue bahas dan gue breakdown dalam tulisan ini, dengan harapan gue mampu me-restrukturisasi hal tersebut agar menjadi lebih jelas bagi diri gue sendiri.
Yes, masih ada sedikit sisa pahit di mulut gue, ketika gue harus melepaskan kesempatan gue untuk berkarir di dunia sosial; walaupun gue lulus dari program Management Trainee-nya World Vision Indonesia dan siap dikirim ke isolated areas dimana saja di Indonesia. Seperti yang sudah gue ceritakan di tulisan gue sebelumnya (baca: Status Baru), keputusan besar tersebut memang sangat dipengaruhi oleh kondisi terakhir keluarga gue. Hal tersebut memang sudah menjadi harga mati, dan tidak ada cara lain bahwa gue memang harus tinggal di ibukota. Namun kepahitan berikutnya adalah betapa sulitnya untuk mendapatkan kesempatan berkarir di dunia sosial di kota metropolitan ini, yang kebanyakan memang menjadi kantor pusat bagi banyak NGOs/LSM. Tapi ya itu, karena judulnya "kantor pusat", berarti membutuhkan staff yang telah memiliki banyak pengalaman di lapangan. Sedangkan gue, pengalaman yang gue punya "hanya" pengalaman volunteering 2-3 tahun di berbagai tempat, yang ketika itu gue berpikir bahwa karir gue di dunia sosial akan berjalan mulus dengan pengalaman tersebut. Ternyata....
Prolog yang sinis. Tapi ya mungkin kurang lebih itu yang sedang gue rasakan. Ada perasaan campur aduk yang ada dalam diri gue ketika mengantar si Doi pergi ke Jambi; mulai dari bahagia karena Doi bisa mendapatkan pekerjaan impiannya, sedih karena tatap muka dan kontak fisik akan menjadi minimal selama dia pergi, dan iri karena dia akan bisa mencintai pekerjaan impiannya sementara gue sulit. Sebenarnya hal yang terakhir ini yang mau gue bahas dan gue breakdown dalam tulisan ini, dengan harapan gue mampu me-restrukturisasi hal tersebut agar menjadi lebih jelas bagi diri gue sendiri.
Yes, masih ada sedikit sisa pahit di mulut gue, ketika gue harus melepaskan kesempatan gue untuk berkarir di dunia sosial; walaupun gue lulus dari program Management Trainee-nya World Vision Indonesia dan siap dikirim ke isolated areas dimana saja di Indonesia. Seperti yang sudah gue ceritakan di tulisan gue sebelumnya (baca: Status Baru), keputusan besar tersebut memang sangat dipengaruhi oleh kondisi terakhir keluarga gue. Hal tersebut memang sudah menjadi harga mati, dan tidak ada cara lain bahwa gue memang harus tinggal di ibukota. Namun kepahitan berikutnya adalah betapa sulitnya untuk mendapatkan kesempatan berkarir di dunia sosial di kota metropolitan ini, yang kebanyakan memang menjadi kantor pusat bagi banyak NGOs/LSM. Tapi ya itu, karena judulnya "kantor pusat", berarti membutuhkan staff yang telah memiliki banyak pengalaman di lapangan. Sedangkan gue, pengalaman yang gue punya "hanya" pengalaman volunteering 2-3 tahun di berbagai tempat, yang ketika itu gue berpikir bahwa karir gue di dunia sosial akan berjalan mulus dengan pengalaman tersebut. Ternyata....
- Sunday, November 11, 2012
- 9 Comments