Idealisme vs Realita Hidup

Sunday, November 11, 2012

Dan hari ini pun tiba, dimana si Doi berada di desa antah berantah susah sinyal demi mengejar mimpi dan passion hidupnya. Sementara gue disini, berada di sebuah kota besar yang tidak layak untuk ditinggali, bekerja hanya demi uang dan terpaksa melunturkan idealisme dan passion.

Prolog yang sinis. Tapi ya mungkin kurang lebih itu yang sedang gue rasakan. Ada perasaan campur aduk yang ada dalam diri gue ketika mengantar si Doi pergi ke Jambi; mulai dari bahagia karena Doi bisa mendapatkan pekerjaan impiannya, sedih karena tatap muka dan kontak fisik akan menjadi minimal selama dia pergi, dan iri karena dia akan bisa mencintai pekerjaan impiannya sementara gue sulit. Sebenarnya hal yang terakhir ini yang mau gue bahas dan gue breakdown dalam tulisan ini, dengan harapan gue mampu me-restrukturisasi hal tersebut agar menjadi lebih jelas bagi diri gue sendiri.

Yes, masih ada sedikit sisa pahit di mulut gue, ketika gue harus melepaskan kesempatan gue untuk berkarir di dunia sosial; walaupun gue lulus dari program Management Trainee-nya World Vision Indonesia dan siap dikirim ke isolated areas dimana saja di Indonesia. Seperti yang sudah gue ceritakan di tulisan gue sebelumnya (baca: Status Baru), keputusan besar tersebut memang sangat dipengaruhi oleh kondisi terakhir keluarga gue. Hal tersebut memang sudah menjadi harga mati, dan tidak ada cara lain bahwa gue memang harus tinggal di ibukota. Namun kepahitan berikutnya adalah betapa sulitnya untuk mendapatkan kesempatan berkarir di dunia sosial di kota metropolitan ini, yang kebanyakan memang menjadi kantor pusat bagi banyak NGOs/LSM. Tapi ya itu, karena judulnya "kantor pusat", berarti membutuhkan staff yang telah memiliki banyak pengalaman di lapangan. Sedangkan gue, pengalaman yang gue punya "hanya" pengalaman volunteering 2-3 tahun di berbagai tempat, yang ketika itu gue berpikir bahwa karir gue di dunia sosial akan berjalan mulus dengan pengalaman tersebut. Ternyata....


Kepahitan yang lain adalah, tidak hanya sudah berdiri di depan pintu, tapi gue sudah menjejakkan kaki beberapa langkah dan melewati pintu karir di dunia sosial itu. Semua jalan dan kondisi kosmik alam semesta sudah mengarahkan hidup gue ke dunia sosial sejak masa perkuliahan. Keaktifan gue di gereja, kuliah di peminatan psikologi sosial, sampai kesempatan untuk menjadi volunteer bagi sesama kaum muda di Taize tahun 2008 adalah aliran sungai hilir yang sangat pasti. Namun ketika gue menapakkan kaki di hulu, gue harus rela meninggalkan aliran tersebut dan berpindah ke bidang yang lain.

Kepahitan ini ditambah dengan rasa iri hati, melihat si Doi yang masih penuh dengan idealisme murni yang dipupuk semenjak masa kuliah. Kebetulan kami memang mengambil peminatan yang sama, dan memiliki ide serta pola pikir yang sama terhadap dunia dan masyarakat di dalamnya, sehingga tidak sulit bagi gue untuk mengerti idealisme yang dia anut. Yes, itu adalah idealisme yang sama persis yang gue junjung ketika gue lulus kuliah di tahun 2009 yang lalu. Sorot matanya yang berbinar-binar di airport ketika gue mengantar kepergian dia, adalah sorot mata yang sama ketika gue meninggalkan Indonesia untuk membantu kaum marjinal di Glasgow. Hasratnya untuk tinggal dan membantu masyarakat desa yang terpinggirkan, adalah hasrat yang sama ketika gue menuju ke pedalaman di sekitar kota Singkawang untuk menyadarkan masyarakat disana tentang pentingnya memiliki toilet permanen di dalam rumah.

Kepahitan lain adalah bagaimana gue harus bekerja di sebuah tempat yang semenjak kuliah telah gue musuhi dan gue tentang habis. Gue masih ingat bagaimana perkataan gue ke salah seorang rekan kuliah yang kurang lebih isinya

"Gue gak mau kerja di corporate! Isinya cuma mikirin cuma laba, laba, dan laba!"
Ditambah dengan pengalaman gue di berbagai organisasi humanitarian yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup orang-orang yang terpinggirkan dan terlupakan, membuat gue semakin risih dengan segala hal yang berhubungan dengan kapitalisme. Lihat sekarang, ironis! Gue malah menggantungkan hidup gue dengan bekerja di sebuah perusahaan korporasi yang di setiap akhir bulan mengejar target penjualan. Ketika target tersebut tercapai, tiupan terompet berkumandang dan semua orang bersorak gembira. Sementara gue hanya tertunduk dan menatap hampa, tidak paham sama sekali apa yang harus gue rayakan.

Melakukan suatu hal yang berlawanan dengan keinginan memang hal yang wajar ditemui dalam hidup, namun ternyata cukup sulit bagi gue untuk menghadapi fakta ini. Mungkin karena selama beberapa tahun terakhir ini, gue selalu mendapatkan segala hal yang gue inginkan. Tidak bermaksud untuk tinggi hati, tapi semua hal dalam The Bucket List gue telah tercapai. Ketika gue terlalu terbiasa untuk mengalami hal tersebut, sekarang gue cukup kaget dan sulit untuk menerima keadaan ketika ada satu keinginan gue yang tidak terwujud.

Ketika menjalani suatu hal yang berlawanan dengan prinsip hidup, salah satu defence mechanism yang otomatis muncul di dalam diri gue adalah mencari justifikasi dan mempertahankannya mati-matian. Tidak sulit, karena gue sudah menyiapkan senjata ini ketika gue memutuskan untuk berpindah haluan; mencari pekerjaan dengan gaji setinggi mungkin, untuk "membayar" idealisme dan passion gue yang tidak terwujud plus menabung untuk calon anak istri di kemudian hari. Haha simpel dan elegan ya. "Jadi elo kerja cuma buat uang aja donk, mo?" YES! Rencana ideal gue adalah menabung sebanyak-banyaknya, plus menambah pengalaman di CV gue, lalu berpindah jalur lagi ke dunia sosial ketika kesempatan dan waktu mengijinkan. Jadi sekarang ini gue bekerja tidak hanya untuk uang, melainkan untuk pengalaman agar gue bisa meloncat dengan mudah ke NGO/LSM yang ada. Selain itu, ini untuk masa depan keluarga yang akan gue bangun di beberapa tahun ke depan.

Jadi pekerjaan ini hanyalah batu loncatan. Demi bertambahnya pengalaman di bidang profesional. Demi tertundanya idealisme. Dan demi masa depan dari komitmen hubungan yang sedang berjalan saat ini.

Fiuhhhhhh tulisan ini akan sangat berguna bagi gue. Ketika suatu saat gue mulai kehilangan arah (lagi) atas alasan apa yang membuat gue bertahan di pekerjaan ini, maka gue hanya membaca tulisan ini lagi untuk mengingatkan bahwa gue melakukan semua ini dengan alasan tersebut.

Gue pasti BISA!

You Might Also Like

9 comment(s)

  1. I feel you man....masih untung lo pernah ngerasain...

    ReplyDelete
  2. At least lo blm sampai pada tahap kehidupan dimana orang2 pada tanya "kapan merit??" ,Mo..
    Trust me,itu lbh mengerikan daripada lo dapet kenaikan gaji.. *ehhh..!!!

    ReplyDelete
    Replies
    1. ooh pertanyaan yg itu gue juga uda bisa jawab kok #eh

      Delete
  3. Timo, I used to been there done that!.
    seperti yang u bilang di atas, melakukan sesuatu yg berlawanan dengan keinginan itu memang hal yang wajar. G sangat setuju dengan itu, tapi percayalah mo, kadang jalan kita menuju ke keinginan kita itu justru semakin terbuka lebar saat kita sedang menjalani sesuatu yang berlawanan dengan keinginan kita.
    Mungkin sekarang u kecewa, meratapi nasib, dll karena u harus terpenjara dalam sebuah corporate tapi setidaknya dalam situasi ini justru u memiliki kesempatan lebih banyak untuk bisa kenal banyak orang yang mungkin saja akan membukakan jalan u menuju ke keinginan u itu.

    Smangat Timo! ^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya betul. Ya toh nothing waste di dunia ini. Kalo dikaitkan dengan spiritual, mungkin ada rencana-Nya yang lebih indah yang belum bisa gue liat saat ini. Amin sosodara!

      Delete
  4. ehem, apa maksudnya kota besar yg tidak layak untuk ditinggali? selanjutnya kenapa iri dengan pekerjaan sosial nasional? padahal sebelomnya lu sudah bekerja sosial di glasglow, international experience?

    sentil dikit ahhh... maksudnya kontak fisik itu apa kakak??

    ego will kill your talent, maybe?

    your trashybro

    ReplyDelete
  5. mas timo, salam kenal aku Septian Marhenanto.
    aku tertarik dengan cerita2 mas mengenai kegiatan sosial yang mas timo lakukan selama ini. kebetulan sekali aku saat ini sedang buat skripsi mengenai kegiatan sosial di Sant'Egidio Jakarta dan ada keinginan concern untuk terjun di dunia sosial. boleh saya minta email mas timo agar saya bisa mnta pendapat dan bertukar pikiran?
    Terima Kasih :)

    Regards,
    Antonius Septian Marhenanto

    ReplyDelete
    Replies
    1. halo Septian! Salam kenal! Ayo kita ngobrol di callmetimo@gmail.com gue tunggu ya! Sukses skripsinya!

      Delete
  6. sore kak! saya Adrian. salam kenal. bisa dikatakan saya salah satu orang yang sedang menghadapi salah satu dari pengalaman yg sudah kakak alami. izin untuk diskusi via surat elektronik ya! makasih. Tuhan berkati.

    ReplyDelete

About Me

Timo - a full-time explorer, a part-time writer, a film programmer, a movie passionate, an author of Sobekan Tiket Bioskop