Ketika Gue Masuk ICU
Saturday, March 09, 2013Senin, 25 Februari, Pk. 04.00 pagi di kamar kelas 2 di sebuah RS di dekat rumah gue.
“Kamu gimana rasanya? Lemas? Pusing?”, tanya seorang dokter jaga.
“Biasa aja sih. Agak lemas dan pusing. Sama kaya tadi”, jawab gue santai.
“Pakein infus Ge**** nih! Guyur 15 menit!”, perintah dokter tadi ke seorang suster, yang langsung direspon dengan baik. Beberapa menit kemudian, sudah ada dua infus yang dihubungkan oleh selang dan menembus pembuluh darah vena di punggung tangan kiri gue. Setelah infus baru ini masuk, gue merasakan sensasi dingin di seluruh lengan kiri gue mulai dari pergelangan hingga ke siku. Mungkin ini efek dari instruksi “guyur” tadi. Memang cairan yang menetes dari infus baru ini mengalir deras. Gue yang kaga ngarti apa-apaan soal infus baru ini ya cuma bisa pasrah. Dan gue tertidur lagi.
Pukul 06.00, dokter jaga yang sama membangunkan dan menanyakan hal yang sama yang dia tanyakan dua jam yang lalu. Yang gue jawab dengan kalimat yang sama ditambah dengan kata “ngantuk” untuk mendeskripsikan keadaan gue saat itu. Tapi yang berbeda kali ini adalah ekspresi si dokter jaga ini. Sambil memegang pergelangan tangan gue yang biasanya dilakukan untuk mengecek denyut nadi, mukanya berekspresi super aneh sambil pandangannya menerawang ke atas. Kemudian dia menginstruksikan kepada suster untuk “mengguyur” si infus baru tadi ke dalam badan gue. Dan sensasi dingin di tangan gue pun terulang kembali.
Pukul 06.30, dokter spesialis yang menangani penyakit demam berdarah gue selama dua hari ini tiba-tiba datang dengan rambut acak-acakan. Belum mandi kayaknya ini dokter.
“Kamu berasa apa? Lemas? Pusing? Dada kamu berasa apa??”, tanya dokter spesialis ini yang keliatan menyembunyikan paniknya.
“Biasa aja sih, dok. Lemas dan pusing kayak kemarin”, jawab gue tenang.
“Masuk ICU aja ya? Nadi kamu lemah sekali. Takutnya darah kamu sudah menggumpal. Nanti kamu malah syok. Masuk ICU aja ya??”
“Ayo pindahin ini bed-nya! Cabut semua kabel! Kontak ICU”, instruksi si dokter spesialis yang seakan berbicara dengan siapapun staf ruangan kelas dua. Gue yang masih ngantuk dan bingung cuma ngejawab,
“Ya tolong bilangin ke keluarga saya, dok. Ini saya yang telpon”
Belum sempat gue cari kontak dan pencet “call” di iPhone gue, tiba-tiba gue ngerasa bed gue digeser keluar sambil ada protes dari seorang suster,
“Tunggu dok! Kabel infus pump-nya belum dicopot!”
Gue ngeliat si dokter spesial langsung main tarik bed gue tanpa memperhatikan kabel infus pump yang masih kecolok di steker di tembok. Semakin gue perhatiin, tangan si dokter yang menarik bed gue ternyata gemeteran. Aduh kenapa pula ini.
Beberapa detik kemudian, gue sudah ada di lorong rumah sakit, dengan si dokter spesialis yang mendorong bed gue di bagian kepala tempat tidur. Gue merasa bed gue didorong dengan cepat, yang membuat gue makin pusing melihat plafon yang bergerak kencang. Sambil gue denger si dokter spesialis teriak-teriak entah kepada siapa,
“Ayo cepat! Cepat! Kunci lift mana kunci lift?? ICU dah dikontak belum? Ayo cepat bantu saya dorong!!”
Sesampainya di ruang ICU, gue yang bingung plus panik cuma bisa nonton adegan yang biasa gue liat di serial tv ER. Kurang lebih, begini rentetan dialog-dialog panik/sigap yang gue dengar, entah siapa yang berbicara kepada siapa.
“Mana bed-nya? Ayo dorong!”
“Ga usah pindah bed, dok! Langsung aja! Pindahin dulu bed disitu!”
“Ge**** siapin ge****! Guyur! Guyur! Pasang infus lagi di tangan kanan!”
“Infus mana infus, ambil suster! Cepat!”
“Bruder, cari venanya dulu!”
“Susah dok! Tipis semua!”
“Cari! Cari! Cari sampai dapat! Cepet bruder! Cepet”
“Coba di kaki!”
“Di kaki juga ga berasa nih! Coba lo cari di tangan kiri!”
“Tangan kiri ga keliatan venanya!”
“Kayaknya darahnya udah menggumpal nih!”
“Ini nih di tangan kanan keliatan! Coba lo liat!”
“Cepat bruder! Cepat! Ge**** mana?? Siapin cepat!”
“Jarumnya mau masuk nih, tahan nafas ya”
“Pasang geofusalnya! Tiang infusnya mana? Woi siapin tiang infusnya dulu kali!”
“Ga usah, sini saya pegang dulu!”
“Udah masuk nih, mana ge****nya??”
“Guyur! Guyur! Guyur yang deres! Dua-duanya!”
“Monitor jantung pasang! Itu monitor oksigennya juga dipasang!”
“Monitor tensi dok!”
“Pasang disini monitor tensi! Cepet! Kita harus liat tensinya! Jangan sampe drop!”
Ah shit. Harus kaya gini yah.
Kurang lebih seperti itu kejadian dimana di hari ketiga gue dirawat di rumah sakit karena diagnosa demam berdarah dengue. Yes, ini adalah pertama kali dalam hidup gue dimana gue didiagnosa terkena DBD, dan kedua kali gue dirawat inap di rumah sakit setelah sebelumnya karena operasi amandel waktu gue SD.
Cerita awalnya adalah, gue berasa badan gue demam sejak hari Rabu, 20 Februari 2013. Gue pikir masuk angin biasa, gue pun melakukan self-medication dengan obat-obatan pribadi yang biasa gue konsumsi; tolak angin dan susu bear brand. Di hari Jumat ternyata demam gue belum hilang juga, malah yang ada naik-turun sepanjang hari. Curiga gejala tipes karena memang gue memiliki kecenderungan cukup tinggi terkenal gejala tipes, dimana baru tahun lalu di akhir Januari gue kena gejala tipes. Gue pun cek darah dan konsultasi ke dokter. Trombosit gue berada 40 ribu dibawah standar normal, dengan angka 90 ribu. Dokter umum nyokapnya temen gue yang memang biasa gue datangi pun bilang, takutnya ini gejala tipes atau DB walaupun hasil cek DB adalah negatif. Karena memang gejalanya adalah trombosit yang turun. Besoknya, hari Sabtu pun gue tes lagi dan ternyata memang trombosit gue jatuh ke angka 60 ribu.
Sabtu siang, gue sudah berada di ruangan IGD dengan demam 39,5' C. Sekalian aja bikin telor ceplok di pantat gue bisa mateng kali yaaa.
Entah karena weekend atau banyak orang sakit dan dirawat inap di hari itu, kamar yang kosong hanya di kelas satu, dengan tipe standar utama. Yang paling mahal, yang paling luas, dan ada tv dengan channel kabel berbayar. Tapi beruntung beberapa jam kemudian, suster mengabarkan bahwa kamar kelas satu tipe standard ada yang kosong. Gue pun pindah ke kamar itu yang biayanya lebih murah beberapa ratus ribu rupiah. Mau ga mau, semalam gue dirawat disitu sampai ada yang kosong di kamar kelas tiga.
Dokter spesialis pun dipanggil dan memberikan diagnosa serta cara perawatannya. Beliau pun memberikan briefing singkat namun jelas tentang penyakit DB yang gue derita.
Beliau bilang bahwa memang DB gejalanya adalah trombosit yang turun. DB kaga ada obatnya *glek*. Cara perawatannya hanya memberikan cairan tubuh sebanyak-banyaknya. Berhubung kaga mungkin para pasien DB dipaksa minum air 10 liter setiap harinya karena percuma bakal kembung dan muntah juga, jadilah dikasih infus yang judulnya apa gitu sebagai pengganti cairan tubuh. Fase DB ada 7 hari. Hari ke-1 sampai ke-4 demam tinggi yang naik-turun dan trombosit menurun secara perlahan. Hari ke-5 dan ke-6 yang tricky karena demam turun dan banyak orang mengira sudah sembuh, tetapi sebenarnya justru di fase inilah yang paling kritis karena kadar trombosit turun drastis bahkan sampai dibawah 10 ribu. Seberapa banyak turunnya, setiap orang berbeda-beda. Di fase ini, darah bisa menggumpal dan pembuluh darah meningkat resikonya untuk pecah atau bocor. Banyak orang yang mengeluarkan darah lewat hidung atau muntahan. Jadi jangan korek-korek hidung, tegas si dokter spesialis ke gue seakan dia tahu gue hobi ngupil. Jangan sikat gigi dulu takutnya gusi berdarah. Karena sekalinya berdarah dan karena kadar trombosit yang sangat rendah, pendarahan akan sulit untuk berhenti. Tapi begitu melewati hari ke-6, di hari ke-7 biasanya trombosit sudah bergerak naik. Dan sekalinya trombosit naik, itu akan naik terus sampai normal. Sekali lagi, naiknya seberapa jauh dan bisa mencapai batas normal seberapa cepat itu tergantung setiap orang. Kurang lebih begitu penjelasan singkat tentang fase DB dari si dokter spesialis ini.
Di malam pertama gue di RS itu, gue tidur cukup larut karena memang cukup banyak pikiran jelek yang hinggap di kepala gue. Ini adalah rumah sakit yang sama tempat bokap gue meninggal di 10 Maret 2012 lalu. Masih sulit buat gue untuk mencerna bahwa gue dirawat di gedung yang sama nyaris satu tahun kemudian. Banyak alasan sentimentilnya. Mulai dari kenangan-kenangan tentang saat-saat terakhir bersama bokap gue, sampai ke detik-detik dimana bokap gue menghembuskan nafas terakhirnya. Di rumah sakit ini! Di ruang ICU di dua lantai di bawah gue!
Di hari kedua rawat inap, ada kabar terbaru bahwa kamar kelas dua ada yang kosong. Sekitar siang hari pun gue dipindah ke kamar keluar dua. Perpindahan kamar ini sedikit menganggu sih kaena kan gue masih belum boleh turun dari tempat tidur sama sekali karena takut ada pendarahan dalam dll, jadi gue harus didorong-dorong di tempat tidur gue. Nah ketika gue didorong diatas tempat tidur gue dan melewati setiap lorong rumah sakit itu tuh yang berasa tengsin. Gengsi bok! Jadilah gue cuma merem aja pura-pura tidur selama didorong ehehehe.
Gue pun baru sadar bahwa ternyata mulai di hari kedua rawat inap ini, atau hari keempat gue mengidap DB, gue harus cek darah dua kali sehari; pagi dan sore. Berhubung lengan kiri gue sudah ada infus dan ga boleh diambil darah disitu, jadi gue harus merelakan lengan kanan gue yang udah mulai lebam dan memar akibat berbagai tusukan jarum suntik. Dari gue kecil ya, gue paling takut sama yang namanya jarum suntik. Dulu tuh disuntik ambil darah bisa sampe setengah jam buat menangkan gue yang teriak-teriak panik. Umur makin nambah, kadar teriakan juga menurun sih. Tapi tetep aja setiap kali perawat bilang “tahan nafas ya”, yang ada gue bukan cuma nahan nafas tapi juga nahan kentut plus nahan ketakutan setengah mati. Apalagi ini gue disuntik dua kali sehari! Huhu. Ada satu kali suntikan yang si perawat sudah mulai susah mencari pembuluh darah vena yang masih belum pernah ditusuk sama jarum suntik, sampai dia mau ambil di kaki! HIIIIHHH PLEASE JANGAN AMBIL DI KAKI GUEEEE SAKIT TAUUUUUU!
Di hari ketiga seperti yang sudah gue ceritakan gambarannya di awal tulisan ini, gue pun masuk ICU. Gue masih ingat dengan jelas bagaimana perasaan gue ketika gue menyadari bahwa si dokter spesialis cukup panik ketika mendorong bed gue dari kamar kelas dua ke ruang ICU. Pada saat itu gue merasa kepanikan si dokter spesialis yang tergambar dari nada bicara dan tangannya yang gemeteran itu menular ke dalam diri gue. Yep gue juga jadi ikutan panik tapi panik yang versi lemes. Jadi yang panik hanya keadaan pikiran dan hati gue. Gue inget waktu itu gue malah jadi panik untuk ngabarin nyokap gue, yang keluarga gue kaga pernah nemenin nginep karena ya gue bisa jaga diri dan ada yang jagain. Tapi pagi itu pas di dorong ke lorong gue cuma bisa panik plus berharap pasrah semogaaaa nyokap gue sampai tepat waktu. Jadi kalau ada apa-apa *amit-amit* ya masih bisa ketemu aja gitu. Karena gue inget tahun lalu, cuma gue yang tidur nginep nemenin bokap gue yang udah di ICU. Pagi di detik-detik terakhir hidupnya, cuma ada gue yang nemenin sambil telp nyokap dan berharap cemas nyokap akan tiba tepat waktu sebelum bokap gue menghembuskan nafas terakhir. Ternyata memang bokap gue sudah pergi duluan beberapa menit sebelum nyokap gue tiba. Balik lagi ke lorong rumah sakit dimana gue lagi berasa lomba lari dorong bed antar dokter spesialis, selama bed gue didorong menuju ruang ICU itu gue cuma yang bisa teriak-teriak dalam hati,
“AYO BURUAN DORONGNYA BIAR GUE SAMPE ICU CEPET BIAR GUE SELAMET!!!!
Gue juga masih ingat dengan jelas bagaimana perasaan gue di detik-detik pertama gue di ruang ICU dengan 5-6 perawat dan dokter yang mengelilingi gue untuk sibuk, sigap, dan sedikit menahan panik untuk menyelamatkan tekanan darah gue. Pikiran pertama adalah, ya Tuhan, bokap gue dirawat di ruang ini juga, di bed itu tuh yang keliatan dari bed gue sekarang. Ya Tuhan gue masih mau hidup. Masih banyak hal di dunia ini yang belum gue lakukan. Tolong temani kuatkan para perawat dan dokter itu agar mampu menyelamatkan saya tepat pada waktunya.
Sekitar Pk. 07.00 di ruang ICU, keadaan sudah jauh lebih tenang daripada 30 menit yang lalu. Nyokap gue sudah datang dan sudah di briefing oleh si dokter spesialis tentang apa yang terjadi. Bahwa ternyata dokter jaga menemukan denyut nadi gue sudah mulai melemah dan dia kesulitan untuk mencari denyut nadi gue. Prognosisnya adalah darah gue mulai menggumpal akibat trombosit yang sangat rendah, tekanan darah pun drop ke 90/60. Namun dengan “diguyur” oleh dua cairan infus yang sama di kedua tangan gue ternyata cukup signifikan mengembalikan tingkat kekentalan darah dan kadar cairan dalam tubuh gue ke batas normal. Tekanan darah mulai membaik, denyut nadi pun menguat dan jelas. Namun dokter spesialis gue cukup memaksa agar gue dirawat di ruang ICU sampai besok pagi agar bisa dimonitor 24 jam, apalagi ini adalah hari ke-6 DB dimana fase kritisnya belum lewat. Setelah hasil cek darah keluar, ternyata pagi itu kadar trombosit gue mencapai angka terendah; 6.000 saja! Wooow!
Kalau besok di hari ke-7 trombosit gue sudah naik, maka gue sudah boleh pulang. Uhuy! Selamat tinggal makanan rumah sakit yang selalu membuat gue mual setiap kali mau makan!
Sehari semalam di ruang ICU itu ternyata jauh lebih enak daripada di kelas biasa. Karena setiap lima belas menit akan ada suster yang mencatat perkembangan medis gue dan mengecek gue. Gue mendapatkan perawatan intensif 24 jam! Di hari itu gue berasa banget sering haus dan beser pengen kencing terus. Kalo beser ini katanya karena banyak cairan infus yang masuk ke tubuh gue, dan air kencing adalah saringan dari sisa cairan infus yang sudah diproses. Ketika gue haus, gue tinggal bilang dengan volume suara yang cukup “suster, mau minum”, maka salah seorang suster akan dengan sigap membawakan gelas dengan sedotan ke arah gue, tanpa gue harus beranjak dari bantal gue. Berasa raja! Uhuy!
Sesuai instruksi dokter spesialis gue, selama di ruang ICU gue akan di cek darah tiga hari sekali. Okeeee. Tapi gue memohon-mohon pada perawat tukang darah untuk ambil darah dari lubang tempat infus yang sudah tidak terpakai jadi tidak perlu tusuk-tusuk lagi. Dan ternyata bisa horeee. Selamat tinggal tusuk-tusuk jarum suntik! Siang hari cek darah lagi, trombosit gue naik ke angka 15.000! Horeee besok pulang! Tapi di malam harinya entah kenapa trombosit gue jatuh lagi ke angka 6.000. Oke.
Dari segala macam jenis infus, rasanya ga ada yang bisa ngalahin ampuhnya infus yang satu ini; pacar rela pulang ke Jakarta dari tempat kerjanya di Jambi! UWOOOOOOO! Keesokan harinya sekitar Pk. 0800 doi datang kucluk-kucluk ke ruang ICU. Gue langsung bilang ke susternya,
“suster, tolong lepas, lepas semua cairan infus ini, colokin ke ketek pacar saya aja, pasti trombosit saya langsung naek”
Xixixixixixixi....
Pagi itu hasil cek darah gue adalah trombosit naik ke angka 21.000. Dokter spesialis pun memperbolehkan gue untuk keluar dari ruang ICU dan masuk kamar kelas dua lagi. Setelah gue berada di kamar kelar dua, beberapa jam kemudian ada kabar bahwa kamar kelas tiga ada yang kosong dan gue pun dipindahkan kesana. Ketika gue tiba di kamar kelas tiga, itu adalah sebuah momen yang penting. Karena resmi sudah gue mencoba semua jenis kamar yang ada di rumah sakit ini. Mulai dari ruang IGD, kamar kelas satu tipe standar utama, kamar kelas satu tipe standar, kamar kelas dua, kamar kelas tiga, dan ruang ICU. Mantap!
Keesokan harinya, di hari-8 gue DB dan hari ke-5 gue rawat inap di rumah sakit, trombosit gue mencapai angka tertinggi dalam 5 hari terakhir ini; 70.000. Emang ampuh pisan kan infus pacar pulang ini ;p Harusnya hari ini gue sudah boleh pulang tapi tinggal tunggu instruksi dari dokter spesialis gue. Sekitar jam 11 dia datang dan check-up rutin, dia pun mengijinkan gue untuk keluar dan rawat jalan. Ga ada pantangan makanan, hanya gue tidak boleh keluar rumah dulu selama 2-3 hari ke depan. Dua hari lagi cek darah dan konsultasi.
Dua hari kemudian cek darah dan trombosit gue sudah di batas normal; 316.000. Setelah konsultasi, dokter spesialis gue baru cerita bahwa betapa beruntungnya gue ditangani secara cepat ketika denyut nadi gue melemah dengan ditaruh di ruang ICU. Dia cerita bahwa dia pernah menangani pasien seumuran gue juga, di hari ke-5 DB pasien tersebut pulang ke rumah karena merasa sudah sembuh dengan demam yang sudah turun. Lalu di hari ke-6, pasien tersebut merasa sangat lemas sekali dan dilarikan ke rumah sakit. Ternyata trombosit terjun bebas, tekanan darah drop, dan pasien tersebut syok. Beberapa jam kemudian, pasien tersebut “lewat”. Begitulah istilah yang digunakan oleh si dokter spesialis ini, “lewat”. Serem yak.
Di surat keterangan rawat inap gue untuk keperluan ijin kantor, ditulis di keterangan sakit gue kalau gue terkena penyakit “DBD Grade IV”. Menurut dokter spesialis, itu adalah grade tertinggi dan yang paling berbahaya dari DBD.
Dan gue masih hidup hingga detik ini.
Yeah!
7 comment(s)
timo...what an adventure..gue sampe serem sendiri ngebayanginnya. salah satu keadaan yang membuat lo semakin menghargai hidup ya mo...
ReplyDeletecepet pulih ya bro...salam buat ketek doi lo..*kenapa mesti ketek coba mooo mo..
cuyyy gw kok baru tau lu ampe ke ICU??!! jd yg gw am Tere dtng ke 2x nya lu abis dari ICU ya itu..ckckckckck kagett!
ReplyDeleteMantep bgt kisahnya bro
ReplyDeletewah persis kayak yg saya alami juga, sampai masuk ICU karna DBD. Ngeri bro di ICU alat-alat hampir disemua badan :")
ReplyDeletewah persis kayak yg saya alami juga, sampai masuk ICU karna DBD. Ngeri bro di ICU alat-alat hampir disemua badan :")
ReplyDeleteWah mirip sama saya dulu ini waktu SMA dulu kena DBD jg, trombosit turun, sampe infus pun di kedua tangan. Tp yg paling sakit waktu ngambil darah di kaki, setiap hari lagi hahaha
ReplyDelete2021. Terima kasih sudah berbagi
ReplyDelete