Cerita dari Kebun Sawit

Saturday, December 10, 2011

Ada satu cerita yang gue alami tapi belum sempat gue bagikan di blog ini. Tanggal 21 - 28 November 2011 kemarin, gue berada di tengah perkebunan sawit di Kecamatan Merlung, Propinsi Jambi. Keberadaan gue disana adalah untuk membantu sebuah penelitian yang diadakan oleh salah satu lembaga masyarakat di kampus gue. Pergi ke tengah hutan, daerah terpencil, tidak perlu mengeluarkan biaya, digaji pula! Mantap.

Jadi, cerita awalnya seperti ini. Kira-kira beberapa minggu yang lalu, gue ke kampus untuk ketemu dan silaturahmi dengan salah satu dosen gue. Tidak disangka, beliau menawarkan gue pekerjaan lepas ini, yang langsung saja gue iya-kan. Delapan hari di perkebunan sawit untuk melakukan penelitian tentang pemetaan pendidikan serta faktor internal dan eksternal yang bisa mendukung berlangsungnya pendidikan tersebut. Yang menarik buat gue adalah, gue membayangkan bagaimana gue bisa berinteraksi dengan penduduk setempat disana, yang merupakan suatu hal yang sangat langka bagi orang-orang yang tinggal di kota besar.

Maka hari Senin, 21 November 2011, berangkatlah kami berenam (3 alumni, 2 dosen, 1 staff lembaga) ke Jambi. Sesampainya di Jambi, dua mobil double cabin Toyota Hilux dan Mitsubishi Strada telah menunggu kami di Bandara Sultan Thaha. Ternyata, kami masih harus menempuh perjalanan selama tiga jam untuk menuju lokasi penelitian.

Selama tiga jam perjalanan tersebut, baru kali itu gue melihat pohon kelapa sawit sebanyak itu. Sepanjang jalan, sawiiiiiiiiiiiiiit semua! Ya engga semua sih, tapi tetap saja kebanyakan pohon kelapa sawit. Belum lagi dengan kontur jalan yang naik-turun kiri-kanan, baru kali itu juga gue menemukan batas dimana gue mabuk darat.

Sekitar tiga jam kemudian, mobil yang kami tumpangi harus berbelok dan meninggalkan jalanan aspal. Oh tidak, belum cukup gue mabuk darat, sekarang harus ditambah dengan melewati jalanan tanah yang tidak rata dan hancur minah. Ternyata jalanan tanah itu sebagai tanda bahwa kami telah memasuki perkebunan sawit milik salah satu perusahaan minyak kelapa sawit. Ternyata pula, jarak dari jalanan aspal sampai areal pemukiman itu juga cukup jauh! Terbukti dengan bagaimana sinyal XL gue telah tiada. Luar biasa!

Singkat cerita, ternyata teknis pengumpulan data untuk penelitian ini sangat menarik. Pertama, tentunya kita harus ijin dan lapor dulu ke kepala desa setempat dengan membawa surat ijin dari pak camat. Nah magic happens di kantor kepala desa ini. Biasanya di kantor kepala desa itu ada peta desa, dan dari peta itu bisa dipetakan dimana lokasi rumah-rumah warga yang akan menjadi responden kami. Serunya adalah, hampir setiap para staff kantor desa ini tahu persis siapa orang tua dari murid ini dan dimana rumahnya. Suatu hal yang sangat jarang ditemui di kota-kota besar ya?
Berdasarkan informasi lokasi rumah warga dari kantor kepala desa itu, kami pun menyebar ke berbagai lokasi tersebut. Berhubung informasi rumahnya hanya berupa patokan saja, jadi tanya-tanya ke warga setempat yang ditemui pun tidak bisa dihindarkan. Yang mengganggu adalah, bagaimana kemudian warga-warga tersebut yang gue tanya, malah jadi penasaran ada apa ini orang kota pakai kemeja dan sepatu mencari salah seorang warga di desa mereka. Ngerti sih gue, mungkin jarang banget ada orang luar yang datang ke desa mereka kemudian cari-cari rumah mereka, sampai tahu nama lengkap anak mereka (karena kami memang ada data nama anak-anak murid di sekolah setempat). Tapi ya gue jadi ga enak aja, mereka jadi yang ngeliatin gue gitu dari atas sampai bawah, bahkan sampai diikutin!

Nah, metode penelitian ini yang cukup menantang bagi gue, wawancara! Ini memang bukan kali pertama gue melakukan wawancara untuk penelitian secara profesional, tapi tetap saja setiap wawancara kan berbeda. Bahkan untuk kuesioner yang sama, karena perbedaan individu yang ada pada setiap responden. Dulu responden gue adalah anak-anak jalanan, tapi kali ini adalah orang tua yang memiliki anak di tingkat SMA. Jujur, untuk wawancara pertama gue di Merlung itu, grogi mampus! Setelah itu gue baru sadar ada beberapa pertanyaan yang engga keisi lantaran gue lupa nanya. Argh!

Tapi di dua-tiga hari kemudian, gue semakin luwes dalam mengajukan setiap pertanyaan. Gue mulai bisa membangun pertanyaan improvisasi untuk mengarah pada pertanyaan yang ada dalam kuesioner, khususnya untuk pertanyaan-pertanyaan yang cukup sulit dan sensitif untuk ditanya; misalnya pertanyaan pengeluaran perbulan. Bahkan rasanya sedikit banyak gue sudah sedikit hafal mengenai urutan pertanyaan dalam kuesioner setebal sebelas halaman tersebut. Dengan begitu, gue semakin bisa beradaptasi dengan berbagai situasi wawancara. Wawancara dimana sang responden lagi sibuk bekerja, di luar ruangan, sampai pada responden ibu-ibu yang tiba-tiba nyusuin anaknya di tengah wawancara! Jadi cukup mengalihkan perhatian gue sih, apalagi pas lagi pertanyaan "berapa liter bensin yang dihabiskan dalam seminggu?".
Dari 27 responden yang telah gue wawancara selama satu minggu, dan dari observasi pribadi terhadap situasi dan kondisi fisik di desa dan rumah-rumah penduduk, gue menyimpulkan suatu hal dalam pikiran gue. Hasil buah pikir berikut ini adalah murni dari pribadi gue ya, bukan hasil penelitian resmi yang sedang disusun.

Indonesia adalah penghasil minyak sawit terbesar di dunia. Minyak sawit itu dapat berguna sebagai bahan baku minyak masak, margarin, sabun, kosmetika, industri baja, kawat, radio, kulit dan industri farmasi (sumber: wikipedia). Permintaan ke luar negeri pun cukup tinggi, bahkan ketika Jepang terkena musibah kemarin, permintaan hasil sawit dari negeri Sakura itu pun tinggi karena mereka sedang kesulitan untuk memproduksi minyak sawit. Namun bagaimana dengan kondisi kesejahteraan para petani sawit ini? Hasil pengamatan gue, sedikit berbanding terbalik dengan dinamika industri sawit di skala besar.

Sebenarnya, penghasilan mereka pun tidak sebegitu kecilnya. Perputaran uang di kecamatan tersebut mencapai 8 milyar per bulannya. Sebagian besar mereka pun terbilang cukup untuk menghidupi keluarga, bahkan sampai menyekolahkan anak-anak mereka setinggi mungkin. Bangunan rumah memang bertembok kayu, beratap seng, dan berlantai semen, namun penghasilan mereka perbulan rata-rata cukup untuk membiayai pengeluaran mereka. Walaupun ada sebagian keluarga yang masih memiliki hutang menumpuk. Namun ada satu hal menarik yang gue temukan, dari 27 keluarga yang gue wawancarai, hanya 7 dari mereka yang memiliki kebiasaan menabung setiap bulannya. Sisanya, gali lubang tutup lubang. Dalam artian, membayar setiap pengeluaran dan utang dengan penghasilan yang baru mereka dapatkan, untuk kemudian membuat pengeluaran dan utang berikutnya. Dugaan gue, ini adalah pengaruh dari tingkat pendidikan yang rendah dari orang tuanya. Terlihat juga dari cara bercerita mereka yang kurang sistematis dan cenderung muter-muter.

Terkait tentang pendidikan, ada hal menarik lainnya yang gue temukan. Meskipun rata-rata orang tua murid itu lulusan SD, tapi hampir semua dari orang tua tersebut memiliki pandangan bahwa anaknya harus disekolahkan setinggi mungkin. Alasannya serupa; anak harus lebih baik daripada orang tua dan tingginya pendidikan berpengaruh signifikan terhadap kerja dan penghasilan. Luar biasa!

Yang membuat gue sebal adalah, mengapa tidak ada yang bertindak untuk meningkatkan kualitas jalan diantara desa-desa tersebut. Jalan-jalan tanah itu sangat berbahaya, apalagi di kala hujan. Selam 8 hari dan mengelilingi 8 desa di kecamatan tersebut, tidak sedikit kami menemui truk-truk yang mogok dan harus rela berkubang di pinggir jalan. Jalanan yang berlumpur tersebut membuat motor menjadi primadona alat transportasi disana. Ditambah dengan jarak yang cukup jauh dari kota, membuat harga-harga bahan baku yang dibawa ke desa-desa tersebut menjadi melonjak tinggi. Kalau di Jakarta, ada orang naik motor atau sepeda atau gerobak untuk jualan ke rumah-rumah, di desa sana pakai mobil bak terbuka!

Akhir kata, banyak pengalaman baru yang gue dapatkan dari delapan hari tinggal di sebuah daerah terpencil dan cukup terisolasi. Ternyata gue masih sanggup untuk hidup berhari-hari tanpa melakukan komunikasi dengan dunia luar, hanya menerima informasi lewat layar TV saja. Selain itu, cakrawala pandang gue menjadi terbuka dengan melihat sekilas kehidupan warga desa di pedalaman ini, yang profesi utamanya adalah petani sawit. Dengan pengalaman gue berada di Merlung ini, sedikit membuka jalan untuk menuju mimpi baru gue; melihat Indonesia lewat kota-kota dan desa-desa kecil. Benar saja, Indonesia bukan cuma Jakarta.

You Might Also Like

1 comment(s)

  1. Sesilia Dewi26/5/12 11:21 pm

    Timo, saya memutuskan mulai hari ini mjadi salah satu fans setia yg mnunggu cerita2 dr anda....

    ReplyDelete

About Me

Timo - a full-time explorer, a part-time writer, a film programmer, a movie passionate, an author of Sobekan Tiket Bioskop