Di Balik Layar
Wednesday, September 16, 2009
salah satu unsur yang menopang keberhasilan suatu film atau pertunjukkan adalah sutradara. yup, lewat visi dan misi dari sutradara inilah, terdapat arah dan tujuan mau dibawa kemana si cerita ini. bagaimana ditampilkannya dalam gambar dan adegan. dan memang kebanyakan visi dan misi itu berasal dari pendapat dan pikiran pribadi si sutradara.
si sutradara mau punya ide pribadi apa, dia bisa mewujudkannya di lapangan. mengarahkan sejumlah pemeran dan kru untuk mengikuti apa maunya si sutradara. dan bersikeras untuk mewujudkan bayangan yang terdapat dalam otaknya. sutradara yang punya kuasa untuk meramu sedemikian rupa dari naskah yang tertulis di kertas, menjadi sebuah gambar atau adegan dalam teknik tertentu.
hm, enak juga yah jadi sutradara.
ternyata engga juga tuh! ahahahahaha.
gue pribadi, udah beberapa kali ketiban beban menjadi seorang sutradara, khususnya dalam teater SIJI, kelompok anak2 muda yang ga tau malu, banci tampil, dan ingin menyebarkan kabar gembira lewat seni pertunjukkan panggung. speninggal sutradara dan penggerak teater SIJI, Roland, ke belahan dunia sana untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi, jadilah gue yang entah kenapa ditunjuk secara paksa menjadi pimpinan kelompok, dan otomatis (entah kenapa juga) bertugas untuk melatih dan menyutradarai setiap lakon SIJI.
kalo lakon-lakon "mini" yang dipentaskan sebagai pengganti homili di setiap misa sih gapapa. karena durasi pentas yang maksimal 15 menit, dengan sekitar 5-6 pemain, dan engga butuh kru, itu masih oke. tapi untuk pentas besar dan kolosal macam TABLO Penyaliban Yesus Kristus, denan durasi kurang lebih 60 menit, dengan 15-20 pemain, menggerakkan sekitar belasan crew, koordinasi juga dengan pihak otoritas gereja, AMPUN DAH!
tapi mau gimana lagi, tahun ini adalah tahun kedua gue untuk menyutradarai "pentas kolosal" itu.
tahun lalu, memang gue secara sukarela punya insiatif untuk menyelenggarakan Tablo dan melatih pemain-pemainnya. tapi memang pengalaman pertama selalu engga gampang. tahun lalu ada waktu dimana gue pengen jadi Yesus aja deh, cukup ngegotong salib daripada ngegotong beban mental dan psikologis yang luar biasa berat ini; kurang pemain, kurang kru, serasa kerja sendirian engga ada panitia, rebutan tempat latihan, dan lain-lain.
dan gue pikir, untuk tahun kedua ini, rasanya akan sedikit lebih baik karena ada tambahan satu unsur lagi; pengalaman. dan memang, gue menemukan masalah serupa dengan tahun lalu, bahkan lebih bervariasi, sempet bikin panik setengah mati, tapi kemudian gue cukup taktis untuk mengatasinya.
dari masalah kurang pemain. latihan pertama cuma dihuni 6 orang. latihan kedua 10 orang. jangka waktu tinggal 5 minggu lagi. alhasil, ajak2 lagi deh pemain2 yang pernah maen tahun2 lalu, pemain2 lama ini memang yang jadi andalan gue kalo kurang orang. padahal memang gue ngarepin muka2 baru setiap tahunnya. tapi gue ga bisa lepas dari kenyataan, setiap tahun pasti hanya menyumbang sekitar 5-6 pemain baru.
oke, berhubung pemain masih dibawah standar yang dibutuhkan, dengan sangat terpaksa gue memotong beberapa adegan yang naskah aslinya ditulis oleh Roland Wiryawan (maap, lan!) untuk menghemat pemeran. gue juga menghilangkan satu karakter dan mengoper dialognya ke karakter lain. sampe detik2 akhir blum dapet pemain lagi, gue terpaksa pake taktik "double casts", satu pemain untuk dua karakter. taktik yang cukup memalukan tapi ga ada jalan lain lagi karena kedua karakter tersebut engga bisa dihilangkan dari naskah.
tiga hari menjelang Gladi Resik, gue dapet kabar bahwa salah satu dari empat hasut jatuh sakit karena Demam Berdarah dan harus di-opname di rumah sakit. BAGUS! hasut adalah salah empat peran sentral dalam setiap naskah tablo. karena dialog2 mereka ini yang menyuarakan sisi lain dari hati manusia dan cukup membawa suasana pengadilan Yesus. butuh karakter yang kuat, hapalan dialog yang oke, ekspresi nyebelin, dan intonasi menusuk. sayangnya, yang masuk rumah sakit inilah yang udah lumayan menempuh standar tersebut, walaupun dia baru kelas satu SMP.
belum selesai sampai disini, besoknya gue dapet telepon dari salah satu hasut yang lain, ngelapor bahwa dia engga enak badan. GREAT! tapi gue suru dia istirahat banyak dan untungnya dia bisa ikut GR, walaupun rada tertatih-tatih.
panik, tapi ga lama. gue meminta bantuan pemeran hasut yang sama di tahun lalu untuk turun gunung membantu kami. untung dia mau dengan syarat minta latihan tambahan sebelum GR untuk ngapal naskah lagi dan latihan blocking. beruntung, dia ini seorang akrtis karakter berbakat, jadi ga sulit buat dia untuk dapetin karakter hasut hanya dalam dua kali latihan.
selain masalah pemain, beban terberat adalah di masalah teknis. dari segi produksi udah beres; akting pemain, hapalan naskah, blocking. nah segi-segi pendukung seperti tata lampu dan tata suara yang harus dipersiapkan. dikatakan segi pendukung karena kalo engga ada unsur ini, memang pementasan tetep jalan, tapi kaya makan sayur ga pake sendok garpu.
strategi gue (mungkin salah juga sih) adalah nunggu segi produksi bener2 beres atau setidaknya 3/4 beres, baru dimasukkin segi pendukung. alhasil, tata lampu dan tata suara baru bisa masuk pas GR. setelah berpusing-pusing ria selama 2 minggu sebelum Hari-H lantaran properti lampu dan sound pada hilang, hasilnya cukup baik pas GR dan Hari-H dengan pinjaman sana-sini (makasih loh!).
segi musik, sebagai garam di setiap pementasan. harusnya sih setengah latihan terakhir sudah dibumbui dengan musik biar musik bisa masuk ke naskah dan para pemeran juga bisa menghayati backsound musik yang mengalun. tapi lantaran para pemain baru bener2 hapal naskah dan blocking pas Gladi Kotor, mau ga mau musik baru bisa masuk pas saat itu. padahal kalo soal musik, gue paling hobi tambal-sulam, gonta-ganti, mencari-cari musik apa yang pas untuk adegan ini. sampai-sampai gue mendatangkan salah satu organis berbakat (tjieh!) yang biasa mengiringi misa, untuk ikut bergabung dan bantu musik pas Gladi Resik. dan alhamdulilah, unsur musik hasil ramuan tambal-sulam ini menjadi salah satu unsur penting untuk menjatuhkan air mata umat pas Hari-H. hehe.
selain ngurusin embel2 pementasan seperti yang telah diceritakan dengan panjang lebar diatas, sang dalang, atau sang sutradara, juga berkewajiban untuk mengambil suatu keputusan. nah untuk yang satu ini nih, dimana gue paling lemah untuk melakukannya. buat yang udah kenal banget sama gue, si timo ini emang orang yang rada plin-plan dan cenderung berpikir tiga belas kali untuk mengambil satu keputusan. dan setelah itu belum tentu juga dia yakin dengan keputusan yang telah dia ambil. maka untuk menutupi kekurangan gue ini, gue mengajak Johan Kesuma Harsa untuk duduk berdua di satu bangku sutradara ini. selain ngebantu ngambil keputusan, dia juga berperan besar untuk bantu ngelatih di akting secara mendalam.
keputusan-keputusan seperti apa sih? mulai dari keputusan kecil dari "pemanasannya mau ngapain ya?", "ini blockingnya mau gimana yah?", "ekspresinya harusnya gimana yah?", "intonasinya kayaknya kurang pas deh?", sampai keputusan besar dan terkadang itu adalah last-minute decision, seperti "Yesusnya pake wig ga yah?" tapi selama ini ga pernah latihan pake wig. aduh!". dan keputusan terakhir inilah yang menjadi blunder besar untuk kami. karena ketakutan semua orang terwujud, wig lepas di tengah adegan. jujur, kami butuh sekitar 15 menit untuk mengambil keputusan tersebut, setelah tarik ulur, "ga usah deh", "tapi kalo pake wig jadi oke", dan segala macamnya. tapi setidaknya kami belajar sesuatu, last-minute decision adalah suatu hal yang paling riskan, apalagi berhubungan dengan suatu hal yang engga pernah masuk latihan sebelumnya.
diluar hal-hal yang dibebankan pada seorang atau dua orang sutradara diatas, ada satu hal lagi yang kerap ditemui oleh orang-orang belakang layar. dengan segala pekerjaan dan beban yang harus ditanggung, terkadang orang-orang ini dikesampingkan atau malah terlupakan dari yang namanya apresiasi. padahal kalo ga ada orang-orang berbaju hitam ini, pementasan ga akan berjalan dengan lancar loh. orang-orang (apalagi yang nonton pementasan) akan lebih ingat kepada yang nongol di panggung, terutama pemeran utama. dan gue yakin, engga ada satu-dua tampang orang-orang berbaju hitam yang mereka ingat mukanya, apalagi jasanya.
tapi untungnya kami bekerja di ladang gereja. dimana setiap pekerjaana yang kami lakukan sebenarnya adalah sebuah pelayanan. pelayanan tanpa pamrih, engga peduli seberapa berat kerjaan lo, siapa yang paling berat atau siapa yang paling ringan untuk bekerja, sama siapa lo bekerja dalam sebuah tim, dan sebagainya. pelayanan untuk siapa? untuk umat-Nya dan terlebih lagi untuk sang SIJI.
terakhir, secara khusus gue mengucapkan terima kasih atas kesuksesan Tablo 2009 ini dan maap-maap kalo ada salah kata atau perbuatan kepada:
si sutradara mau punya ide pribadi apa, dia bisa mewujudkannya di lapangan. mengarahkan sejumlah pemeran dan kru untuk mengikuti apa maunya si sutradara. dan bersikeras untuk mewujudkan bayangan yang terdapat dalam otaknya. sutradara yang punya kuasa untuk meramu sedemikian rupa dari naskah yang tertulis di kertas, menjadi sebuah gambar atau adegan dalam teknik tertentu.
hm, enak juga yah jadi sutradara.
ternyata engga juga tuh! ahahahahaha.
gue pribadi, udah beberapa kali ketiban beban menjadi seorang sutradara, khususnya dalam teater SIJI, kelompok anak2 muda yang ga tau malu, banci tampil, dan ingin menyebarkan kabar gembira lewat seni pertunjukkan panggung. speninggal sutradara dan penggerak teater SIJI, Roland, ke belahan dunia sana untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi, jadilah gue yang entah kenapa ditunjuk secara paksa menjadi pimpinan kelompok, dan otomatis (entah kenapa juga) bertugas untuk melatih dan menyutradarai setiap lakon SIJI.
kalo lakon-lakon "mini" yang dipentaskan sebagai pengganti homili di setiap misa sih gapapa. karena durasi pentas yang maksimal 15 menit, dengan sekitar 5-6 pemain, dan engga butuh kru, itu masih oke. tapi untuk pentas besar dan kolosal macam TABLO Penyaliban Yesus Kristus, denan durasi kurang lebih 60 menit, dengan 15-20 pemain, menggerakkan sekitar belasan crew, koordinasi juga dengan pihak otoritas gereja, AMPUN DAH!
tapi mau gimana lagi, tahun ini adalah tahun kedua gue untuk menyutradarai "pentas kolosal" itu.
tahun lalu, memang gue secara sukarela punya insiatif untuk menyelenggarakan Tablo dan melatih pemain-pemainnya. tapi memang pengalaman pertama selalu engga gampang. tahun lalu ada waktu dimana gue pengen jadi Yesus aja deh, cukup ngegotong salib daripada ngegotong beban mental dan psikologis yang luar biasa berat ini; kurang pemain, kurang kru, serasa kerja sendirian engga ada panitia, rebutan tempat latihan, dan lain-lain.
dan gue pikir, untuk tahun kedua ini, rasanya akan sedikit lebih baik karena ada tambahan satu unsur lagi; pengalaman. dan memang, gue menemukan masalah serupa dengan tahun lalu, bahkan lebih bervariasi, sempet bikin panik setengah mati, tapi kemudian gue cukup taktis untuk mengatasinya.
dari masalah kurang pemain. latihan pertama cuma dihuni 6 orang. latihan kedua 10 orang. jangka waktu tinggal 5 minggu lagi. alhasil, ajak2 lagi deh pemain2 yang pernah maen tahun2 lalu, pemain2 lama ini memang yang jadi andalan gue kalo kurang orang. padahal memang gue ngarepin muka2 baru setiap tahunnya. tapi gue ga bisa lepas dari kenyataan, setiap tahun pasti hanya menyumbang sekitar 5-6 pemain baru.
oke, berhubung pemain masih dibawah standar yang dibutuhkan, dengan sangat terpaksa gue memotong beberapa adegan yang naskah aslinya ditulis oleh Roland Wiryawan (maap, lan!) untuk menghemat pemeran. gue juga menghilangkan satu karakter dan mengoper dialognya ke karakter lain. sampe detik2 akhir blum dapet pemain lagi, gue terpaksa pake taktik "double casts", satu pemain untuk dua karakter. taktik yang cukup memalukan tapi ga ada jalan lain lagi karena kedua karakter tersebut engga bisa dihilangkan dari naskah.
tiga hari menjelang Gladi Resik, gue dapet kabar bahwa salah satu dari empat hasut jatuh sakit karena Demam Berdarah dan harus di-opname di rumah sakit. BAGUS! hasut adalah salah empat peran sentral dalam setiap naskah tablo. karena dialog2 mereka ini yang menyuarakan sisi lain dari hati manusia dan cukup membawa suasana pengadilan Yesus. butuh karakter yang kuat, hapalan dialog yang oke, ekspresi nyebelin, dan intonasi menusuk. sayangnya, yang masuk rumah sakit inilah yang udah lumayan menempuh standar tersebut, walaupun dia baru kelas satu SMP.
belum selesai sampai disini, besoknya gue dapet telepon dari salah satu hasut yang lain, ngelapor bahwa dia engga enak badan. GREAT! tapi gue suru dia istirahat banyak dan untungnya dia bisa ikut GR, walaupun rada tertatih-tatih.
panik, tapi ga lama. gue meminta bantuan pemeran hasut yang sama di tahun lalu untuk turun gunung membantu kami. untung dia mau dengan syarat minta latihan tambahan sebelum GR untuk ngapal naskah lagi dan latihan blocking. beruntung, dia ini seorang akrtis karakter berbakat, jadi ga sulit buat dia untuk dapetin karakter hasut hanya dalam dua kali latihan.
selain masalah pemain, beban terberat adalah di masalah teknis. dari segi produksi udah beres; akting pemain, hapalan naskah, blocking. nah segi-segi pendukung seperti tata lampu dan tata suara yang harus dipersiapkan. dikatakan segi pendukung karena kalo engga ada unsur ini, memang pementasan tetep jalan, tapi kaya makan sayur ga pake sendok garpu.
strategi gue (mungkin salah juga sih) adalah nunggu segi produksi bener2 beres atau setidaknya 3/4 beres, baru dimasukkin segi pendukung. alhasil, tata lampu dan tata suara baru bisa masuk pas GR. setelah berpusing-pusing ria selama 2 minggu sebelum Hari-H lantaran properti lampu dan sound pada hilang, hasilnya cukup baik pas GR dan Hari-H dengan pinjaman sana-sini (makasih loh!).
segi musik, sebagai garam di setiap pementasan. harusnya sih setengah latihan terakhir sudah dibumbui dengan musik biar musik bisa masuk ke naskah dan para pemeran juga bisa menghayati backsound musik yang mengalun. tapi lantaran para pemain baru bener2 hapal naskah dan blocking pas Gladi Kotor, mau ga mau musik baru bisa masuk pas saat itu. padahal kalo soal musik, gue paling hobi tambal-sulam, gonta-ganti, mencari-cari musik apa yang pas untuk adegan ini. sampai-sampai gue mendatangkan salah satu organis berbakat (tjieh!) yang biasa mengiringi misa, untuk ikut bergabung dan bantu musik pas Gladi Resik. dan alhamdulilah, unsur musik hasil ramuan tambal-sulam ini menjadi salah satu unsur penting untuk menjatuhkan air mata umat pas Hari-H. hehe.
selain ngurusin embel2 pementasan seperti yang telah diceritakan dengan panjang lebar diatas, sang dalang, atau sang sutradara, juga berkewajiban untuk mengambil suatu keputusan. nah untuk yang satu ini nih, dimana gue paling lemah untuk melakukannya. buat yang udah kenal banget sama gue, si timo ini emang orang yang rada plin-plan dan cenderung berpikir tiga belas kali untuk mengambil satu keputusan. dan setelah itu belum tentu juga dia yakin dengan keputusan yang telah dia ambil. maka untuk menutupi kekurangan gue ini, gue mengajak Johan Kesuma Harsa untuk duduk berdua di satu bangku sutradara ini. selain ngebantu ngambil keputusan, dia juga berperan besar untuk bantu ngelatih di akting secara mendalam.
keputusan-keputusan seperti apa sih? mulai dari keputusan kecil dari "pemanasannya mau ngapain ya?", "ini blockingnya mau gimana yah?", "ekspresinya harusnya gimana yah?", "intonasinya kayaknya kurang pas deh?", sampai keputusan besar dan terkadang itu adalah last-minute decision, seperti "Yesusnya pake wig ga yah?" tapi selama ini ga pernah latihan pake wig. aduh!". dan keputusan terakhir inilah yang menjadi blunder besar untuk kami. karena ketakutan semua orang terwujud, wig lepas di tengah adegan. jujur, kami butuh sekitar 15 menit untuk mengambil keputusan tersebut, setelah tarik ulur, "ga usah deh", "tapi kalo pake wig jadi oke", dan segala macamnya. tapi setidaknya kami belajar sesuatu, last-minute decision adalah suatu hal yang paling riskan, apalagi berhubungan dengan suatu hal yang engga pernah masuk latihan sebelumnya.
diluar hal-hal yang dibebankan pada seorang atau dua orang sutradara diatas, ada satu hal lagi yang kerap ditemui oleh orang-orang belakang layar. dengan segala pekerjaan dan beban yang harus ditanggung, terkadang orang-orang ini dikesampingkan atau malah terlupakan dari yang namanya apresiasi. padahal kalo ga ada orang-orang berbaju hitam ini, pementasan ga akan berjalan dengan lancar loh. orang-orang (apalagi yang nonton pementasan) akan lebih ingat kepada yang nongol di panggung, terutama pemeran utama. dan gue yakin, engga ada satu-dua tampang orang-orang berbaju hitam yang mereka ingat mukanya, apalagi jasanya.
tapi untungnya kami bekerja di ladang gereja. dimana setiap pekerjaana yang kami lakukan sebenarnya adalah sebuah pelayanan. pelayanan tanpa pamrih, engga peduli seberapa berat kerjaan lo, siapa yang paling berat atau siapa yang paling ringan untuk bekerja, sama siapa lo bekerja dalam sebuah tim, dan sebagainya. pelayanan untuk siapa? untuk umat-Nya dan terlebih lagi untuk sang SIJI.
terakhir, secara khusus gue mengucapkan terima kasih atas kesuksesan Tablo 2009 ini dan maap-maap kalo ada salah kata atau perbuatan kepada:
- Johan Kesuma Harsa, telah menemani gue untuk duduk di kursi dalang
- Ke-19 pemain atas kesediaannya untuk menyediakan waktu 2-3 jam dalam dua kali seminggu untuk latihan selama satu setengah bulan ini, dan atas ikatan persaudaran baru yang telah kita semua buat; Nando, Rere, Indra, Kenrisen, Patrick, Stevanus, Tere, Bianca, Angel, Richard, Amel, Vincent, Shady, Petrus, Mario, Vian, Yoriza, Betty, Melly
- secara khusus buat Martha Amelia yang udah mau bantu dan meranin hasut di menit-menit terakhir dan hanya dua kali latihan. you're rock, mel!
- Ke-9 kru hitam, alias blackman atas keringat dan ototnya. Ivan, Toni, Fanie di bagian tata suara dan Devina, Felix, Dimas Cilix, Agung, Boni, dan Pius di tata lampu.
- Ke-5 tata make-up atas eye shadow, shading, bedak, dkk, Rere, Melly, Yoriza, Amel (telah merangkap sebagai pemain juga) serta Sesi yang selalu jad langganan setiap tahun selalu membantu make-up tablo.
- Ke-3 orang dokumentasi atas bakatnya mendokumentasikan suatu acara, Valent di video serta Rangga dan Aart di foto.
- Ke-3 musisi atas bakatnya memencet tuts-tuts hitam putih dan olah suara, Sisi pada organis serta Marcella dan Indri yang baru didatangkan pada Hari-H. hehe.
- Ke-6 penggotong jenasah Yesus atas keringat dan ototnya, yang lantaran kurang pemain jadi ngelibatin pemain, kru, bahkan si sutradara sendiri (haha!); Felix, Ivan, Indra, Agung, Pius, dan Johan.
- Kepada Romo Ari dan Frater Bayu yang secara khusus telah mendampingi tablo ini dalam segi iman dan spiritualitas. tanpa dua orang ini, tablo ini "hanya" akan menjadi sebuah pementasan tanpa tujuan, sebuah tontonan bukan tuntunan bagi umat-Nya.
- serta kepada Yang Diatas, dimanapun Ia berada, atas berkat, ijin, dan restu yang telah diberikanNya untuk kelancaran visualisasi jalan salib Yesus Kristus ini.
Tablo 2008, Di Balik Layar
0 comment(s)