Membangun Karir

Sunday, April 22, 2012

Dalam tulisan gue sebelum ini, beberapa kali gue bilang bahwa gue akan mulai membangun karir dengan pergi dari ibukota ini. Nah di tulisan ini, gue akan berbagi lebih jauh tentang karir macam apa yang sedang gue rintis dan kenapa ini mengharuskan gue untuk sekali lagi meninggalkan zona nyaman gue.

Seperti yang telah gue tuangkan dalam tulisan Tiket Pulang (15 Juni 2011), gue tidak bisa membayangkan diri gue bekerja selain menjadi pekerja humanitarian atau pekerja sosial. Keputusan ini pun bukan berasal dari sebuah momen titik balik yang spesifik, tapi dari sebuah proses panjang yang gue alami dalam empat tahun terakhir ini. Singkat kata, empat tahun terakhir ini gejala kosmis seakan mengarahkan gue bekerja untuk sesama manusia; menjadi sukarelawan di berbagai organisasi dan menikmatinya!

Sepulangnya kembali ke Indonesia bulan Agustus 2011 kemarin, gue memang langsung mencari pekerjaan di bidang sosial. Empat bulan pencarian kerja yang melelahkan via internet, koneksi teman-teman, serta dosen-dosen, gue baru menemukan titik cerah di bulan Desember. World Vision Indonesia membuka lowongan untuk Management Trainee di bulan Januari, yeah! Aplikasi pun dikirimkan, dan saya dipanggil! Benar-benar sebuah panggilan. Maksudnya, dari sekian puluh lamaran yang gue kirimkan, cuma ini satu-satunya panggilan wawancara kerja yang gue terima :D

Proses seleksinya pun panjang dan ribet! FGD 1st Screening, Tes Tertulis, Psikotes, Tes Bahasa Inggris, dan Final Interview. Setelah itu barulah gue dinyatakan lulus dan masuk sebagai peserta MT. Nah di program MT ini pun gue belum menjadi staff WVI, karena di program MT ini masih akan dinilai performa kerja magangnya, baru dinyatakan lulus menjadi staff WVI. Luar biasa yaaaa perjalanannya.

Program MT ini dimulai hari Senin, 16 April 2012 kemarin dan akan berakhir di tanggal 31 Agustus 2012 besok. Satu bulan pertama akan ada kelas orientasi di Jakarta, di kantor WVI, lalu tanggal 14 Mei 2012 besok baru setiap peserta MT akan kerja magang di berbagai tempat pelayanan WVI di daerah-daerah pelosok Indonesia, sampai 20 Juli 2012. Setelah itu akan ada Panel Interview dan Presentasi, baru ada penilaian akhir. Kalau lulus program MT, langsung pindahan dan ditempatkan di salah satu daerah pelayanan selama masa kontrak pertama 1,5 tahun. Sekali lagi, luar biasa yaaaaaaa perjalanannya.

Tapi gue mau bercerita lebih ke bagaimana gue menghabiskan minggu pertama kelas orientasi program MT ini. Semoga gue bisa menceritakannya dengan sistematis dan deskiptif.

Kesan pertama gue ketika masuk di hari pertama di kelas orientasi ini, gue berasa bertemu dengan berbagai orang dari berbagai daerah di Indonesia! Ada orang dari Toraja, ada yang dari Salatiga, Manado, Poso, bahkan Halmahera! Hanya sedikit sekali yang berasal dari dan tinggal di Jakarta, dan hal ini membuat gue menjadi satu-satunya peserta MT yang bawa motor ke kantor. Yang menarik dari komposisi ini adalah, gue menemukan berbagai aksen bahasa Indonesia yang sangat menarik! Dan seperti biasanya, entah kenapa malah jadi gue yang latah dengan aksen mereka; kenapa bukan mereka yang latah dengan aksen Jakarta gue ya?? Lalu gaya bahasa prokem Jakarta pun mau ga mau harus gue tinggalkan demi menghargai bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Di kelas orientasi ini, ternyata kami dibekali dengan berbagai pengetahuan praktis maupun teoritis untuk modal sebelum turun ke lapangan nanti. Mulai dari pengetahuan metode Participation Learning and Action, sampai ke Transformational Development yang menjadi pegangan utama WVI dalam melakukan intervensi di masyarakat desa. Pola pikir dan berbagai metode ini memang kurang lebih sudah gue dapatkan di masa kuliah gue kemarin. Tapi ya berhubung peserta MT ini berasal dari berbagai latar belakang pendidikan, orientasi macam ini mungkin sudah jadi semacam keharusan ya biar nanti di lapangan bisa satu pikiran. Tapi memang berbagai ilmu pembelajaran disini banyak mengingatkan gue akan kuliah-kuliah gue di Psikologi Sosial dulu, walaupun topik dan cara pengajarannya sedikit berbeda. Jadi kangen gitu sama kuliah-kuliah sosial!

Dari hasil obrolan-obrolan singkat dengan beberapa teman baru, gue berasa senang karena akhirnya bisa ketemu dengan orang-orang yang punya pola pikir yang sama dengan gue! Hidup di daerah pelosok demi memajukan masyarakat desa, atas nama Indonesia yang lebih baik! Ini yang membuat gue merasa berada di tempat yang cocok. Beberapa dari mereka sudah punya pengalaman hidup di daerah pelosok; mulai dari Wamena sampai Nias. Ini yang membuat gue jadi sedikit minder dan ga percaya diri. Pengalaman gue hidup di daerah "pelosok" cuma satu minggu di kebun sawit di kecamatan Merlung, Jambi (baca Cerita dari Kebun Sawit, Desember 2011). Berhubung gue memiliki penyakit minder yang cukup akut, keminderan ini sampai membuat gue meragukan apakah gue akan betah untuk tinggal di daerah pelosok selama dua bulan, atau bahkan sampai satu setengah tahun!

Selain itu, komposisi para peserta MT Batch 14 ini juga membuat gue tambah minder, lantaran sebagian besar dari mereka sering nanya dengan pertanyaan yang berbobot! Sedangkan gue, belum pernah melontarkan satu pun pertanyaan ke fasilitator yang sedang mengajar. Gue jadi berasa kemampuan analisa gue tidak sedalam mereka-mereka ini yang memberikan pertanyaan. Kalah ilmu, kalah pengalaman, haduh!

Sekarang gue sedang berusaha keras untuk menetralisir perasaan minder gue itu sih. Dengan kembali fokus ke kelas orientasi dan mempersiapkan mental untuk hidup dua bulan di daerah pelosok dengan segala keterbatasannya; air, jalanan, sinyal, dan internet! Jadi mungkin gue harus berpuas-puas diri hidup di Jakarta sampai 14 Mei 2012 besok :D

Selain perasaan minder, rasa keragu-raguan gue pun muncul lagi. Itu loh, rasa ragu-ragu yang selalu hinggap ketika gue bersiap untuk meninggalkan zona nyaman untuk menuju zona baru dimana gue harus memulai semuanya dari nol lagi. Rasa ragu-ragu ini memang rajin datang dalam hidup gue (baca Diantara Jakarta dan London, September 2010 dan Diantara Dover dan Calais, Juli 2011), tapi ternyata itu tidak menjamin bahwa gue tidak akan mengalami rasa ragu-ragu itu ya. Kalau yang ini, gue benar-benar ragu apakah ini "jalan" yang tepat buat gue; pergi ke daerah pelosok untuk jangka waktu yang lama?
Apakah organisasi ini tepat untuk memulai karir gue di dunia humanitarian?
Apakah keputusan gue ini tepat?
Membangun karir, kenapa engga dari dulu?
Kenapa gue engga "cari aman" aja sih dengan bekerja di Jakarta di pekerjaan HR atau PR atau apa gitu?
Tinggal di ibukota, dekat secara geografis dengan teman-teman dan keluarga, dan dapat gaji yang cukup. Ga perlu kesusahan air, makanan, sinyal, internet, dan minim acara konser serta festival film! Dan gue masih bisa melayani secara aktif di paroki gue, dan ga perlu capek-capek membangun lagi hubungan pertemanan yang baru dengan orang-orang baru!

Pergumulan diatas memang sudah pernah gue lewati, berkali-kali. Jawaban-jawaban untuk setiap pertanyaan diatas juga gue sudah pegang. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, cukup sayang ya untuk meninggalkan zona nyaman itu, sekali lagi. Hubungan pertemanan yang telah gue bangun bertahun-tahun di berbagai kelompok, serta "karir" yang gue bangun dengan susah payah di gereja. Belum lagi gue harus rela untuk tidak terlibat lagi dalam Tablo di paroki gue *huaaaaa*. Tapi ya balik lagi, apa yang gue cari dalam hidup? Gue mencari satu hal yang bisa gue bawa seumur hidup dengan bangga, tanpa peduli apakah hal tersebut "keren" atau engga di mata orang lain, asalkan itu berguna bagi orang yang membutuhkan!

*pffff*

Amin!


You Might Also Like

2 comment(s)

  1. Dearly sohib masbro timo!

    jangan minder kawan, playing a new games ga perlu malu, yg penting tau cara mainnya dan enjoy, pengalaman bertumbuh seiring waktu berjalan. just simple like that.

    ~eijipi

    ReplyDelete
  2. Kadang orang ga mengerti pentingnya sebuah karir dalam hidup. arti karir yang sebenarnya. semoga tulisan ini membuka mata pembaca yang selama ini berpikir kalo karir itu cuma bertujuan mencari uang dan jabatan.

    ReplyDelete

About Me

Timo - a full-time explorer, a part-time writer, a film programmer, a movie passionate, an author of Sobekan Tiket Bioskop